*Berkahnya Generasi Sandwich*
PEMBAHASAN mengenai sandwich generation atau generasi
sandwich sedang booming terutama di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Banyak
seminar yang sekarang diselenggarakan secara daring atau yang akrab disebut
dengan webinar yang mengulas tentang generasi yang satu ini, begitupula banyak
tulisan yang mengangkat tema yang sedang hangat ini disertai dengan arahan dan
solusi dari narasumber ahli.
Apa Itu Sandwich
Generation? Beberapa orang mungkin sedang mengalami. Sedang bekerja keras,
tidak hanya menafkahi anak atau istri tapi juga orang tua dan adik-adik yang
masih bersekolah. Belakangan muncul istilah Sandwich Generation. Istilah yang
ditujukan bagi mereka yang sedang dalam keadaan "terjepit" layaknya
roti sandwich antara anak-anak dan orang tuanya.
Meski baru terdengar, ternyata istilah generasi sandwich
sudah ada sejak lama. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy A.
Miller, pada 1981. Profesor sekaligus direktur praktikum Universitas Kentucky,
Lexington, Amerika Serikat (AS). Ia memperkenalkan istilah generasi sandwich
dalam jurnal berjudul "The 'Sandwich' Generation: Adult Children of the
Aging." Di dalam jurnal tersebut,
Dorothy mendeskripsikan generasi sandwich sebagai generasi orang dewasa yang
harus menanggung hidup tidak hanya orang tua, tapi juga anak-anak mereka. Salah
satu penyebab menjadi generasi sandwich adalah karena orang tua tidak mempu
merencanakan masa tua yang lebih baik. Sehingga anak, mau tidak mau terpaksa
harus memikul tanggung tanggung jawab dengan menafkahinya.
Sebelum melangkah lebih jauh terlebih dahulu harus kita
pahami apa sebenarnya generasi sandwich tersebut, apakah semacam generasi yang
senang dengan makanan ala barat atau sebuah program diet dengan vegetarian life
style. Yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bukan keduanya, akan tetapi
istilah yang disematkan kepada generasi yang berada pada rentang usia 30 sampai
dengan 40 tahun berada pada rentang usia produktif dan telah memiliki
tanggungan yakni telah menikah dan memiliki anak yang tentunya masih
membutuhkan biaya hidup dan pendidikan, sekaligus menanggung biaya hidup orang
tuanya yang sudah sepuh dan tidak berpenghasilan lagi (Suryo, 2020).
Mengapa diistilahkan sebagai sebuah sandwich? Karena ia
harus menanggung keluarga barunya sekaligus orang tuanya seperti halnya sebuah
roti yang diisi dengan beberapa sayuran, daging, keju, saus dan lainnya
kemudian ditutup lagi dengan sebuah roti yang lainnya menggambarkan kehidupan
yang dihimpit dengan generasi sebelum dan setelahnya.
Beberapa Jenis Sandwich Generation
- Generasi Sandwich Tradisional
Umumnya, mereka yang masuk dalam kategori ini adalah orang
dewasa di usia 40 tahunan atau awal 50 tahun, dimana harus menanggung kebutuhan
anak-anaknya yang sudah dewasa namun masih memerlukan dukungan finansial,
Kemudian, di sisi lain juga masih harus mengurus orangtua mereka yang sudah
lansia.
- The Club Sandwich Generation
Beberapa yang termasuk dalam kategori ini adalah orang
dewasa berusia 50 atau 60 tahunan yang terjepit antara mengurus orangtua yang
lansia dan anak mereka yang sudah dewasa, bahkan termasuk cucu. Termasuk juga
mereka yang berusia 30 atau 40 tahunan dan memiliki anak kecil, namun harus
mengurus orangtua serta kakek nenek.
- Open-faced Sandwich Generation
Mereka yang terlibat dalam kegiatan perawatan lansia meski
itu bukan pekerjaan profesional mereka (misalnya karyawan panti jompo) termasuk
dalam kategori ini. Diperkirakan ada sekitar 25% orang yang mengalami fase ini
dalam hidupnya.
Penyebab Generasi Sandwich
Penyebab menjadi generasi sandwich bukan semata-mata karena
orang tua tidak mampu merencanakan masa tua. Bagi keluarga dengan keterbatasan
ekonomi, merencanakan kehidupan masa tua mungkin tidak pernah terpikir olehnya.
Yang dipikirkan adalah bagaimana ia bisa memenuhi kebutuhan pokok setiap
harinya. Juga bagaimana agar bisa menyekolahkan anak-anaknya agar bisa
menjalani kehidupan yang lebih baik darinya.
Kesulitan ekonomi terasa dari generasi ke generasi
seharusnya menyadarkan kita bahwa ada yang salah dalam menjalani kehidupan.
Perekonomian yang terasa kian berat dari waktu ke waktu dipandang sebagai
sebuah hal yang wajar dan tak dapat dihindari. Padahal perekonomian sebuah
negara, bisa diatur oleh manusianya.
Pandangan Islam bagaimana sebaiknya menyikapi persoalan ini terutama di tengah kondisi pandemi global sekarang.
Di tengah kehidupan masyarakat yang menjadikan materi
sebagai ukuran kebahagian tentu menjalani hidup sebagai generasi sandwich akan
sangat berat. Menafkahi keluarga berarti harus mengeluarkan lebih banyak uang
dari hasil keringat sendiri. Padahal kebutuhan, keinginan bahkan cita-cita
sendiri pun belum semuanya tercapai. Hal ini bisa memicu tekanan psikologis
bagi dirinya. Sikap dan pemikiran seperti ini yang harus diubah.
Berbakti pada orang tua adalah perintah Allah. Salah satu
bentuknya adalah dengan menanggung nafkahnya. Di tengah kesulitan ekonomi,
seseorang mungkin sampai harus mengorbankan cita-citanya demi menanggung nafkah
orang tua. Tapi jika dalam kesadaran sedang mentaati perintah Allah, maka akan
dilakukan dengan keikhlasan dan percaya akan ada takdir Allah yang lebih baik
baginya. Mengambil peran menjadi penanggung jawab nafkah keluarga bukanlah
menambah beban. Tapi sebuah amalan mulia yang diperintahkan Allah SWT.
- Kewajiban menafkahi dan anjuran bersedekah
Dalam islam, menjadi pencari nafkah dibebankan pada
laki-laki dewasa. Sejak usia mukallaf ia menjadi penanggung jawab nafkah bagi
dirinya sendiri. Jika ia menikah maka ia berkewajiban menafkahi istri dan
anak-anaknya. Jika orang tua telah renta atau ayah telah tiada, maka nafkah
orang tua atau ibu ditanggung oleh anak laki-laki dewasanya. Ia juga menaggung
nafkah adik-adik perempuannya jika ayah telah tiada.
Sebagai seorang muslim Allah juga memerintahkan untuk
bersedekah pada keluarga dan kerabat.
يَسْـَٔلُونَكَ
مَاذَا يُنفِقُونَ ۖ قُلْ مَآ
أَنفَقْتُم مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَٰلِدَيْنِ
وَٱلْأَقْرَبِينَ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۗ
وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ
ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan.
Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada
ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.”
Tidak hanya anak, istri dan orang tua, seorang muslim juga
dituntut untuk menunjukan kepedulian terhadap kerabat dan anak yatim. Maka
sudah menjadi fitrah bagi laki-laki untuk menjadi seorang pekerja keras.
Mencari nafkah diniatkan untuk ibadah. Bukan untuk memenuhi
segala hasrat duniawi. Allah yang mendatangkan rezeki, maka rezeki yang
didapatkan harus berikan pada yang berhak.
Dalam prespektif Barat, situasi tersebut terjadi sebagai
akibat dari generasi tua (orang tua) yang tidak mempersiapkan masa tuanya
dengan baik. Katakanlah ketiadaan manajemen masa pensiun dan rapuhnya
pengelolaan keuangan untuk hari tua. Termasuk menjaga kesehatan dirinya
sendiri.
Banyak solusi yang ditawarkan oleh sejumlah pakar, mulai
dari perencanaan pengelolaan keuangan yang lebih baik dan disiplin hingga
menambah penghasilan dari usaha-usaha sampingan.
Namun langkah awal yang perlu harus diubah adalah soal
mindset, bahwa orangtua adalah beban. Sebagai seorang muslim tentu sudah
seharusnya kita punya cara pandang tersendiri. Menempatkan orang tua sebagai
beban hidup sungguh hal tersebut mencederai apa yang Allah dan Rasul-Nya
perintahkan.
Rasullullah SAW pernah menolak keinginan seorang pemuda
untuk ikut jihad berperang dan meminta ia kembali, yaitu untuk merawat dan
berbakti pada orangtuanya. Bukankah jihad fisabilillah adalah amal yang begitu
mulia, gugur di dalamnya maka surga menjadi balasannya tanpa hisab. Dan
Rasulullah SAW menyamakan amal tersebut dengan merawat dan menghidupi kedua
orangtua.
Kita semua juga sudah tahu bahwa berbakti pada orang tua
adalah salah satu dari tiga amal yang paling dicintai oleh Allah SWT, selain
shalat tepat waktu dan jihad fisabilillah. Ingat pula kisah tiga orang yang
terjebak dalam gua, bukankah salah satunya bertawasul kepada amalnya atas
ketataan terhadap kedua orangtuanya.
Dan tentu mungkin yang paling populer adalah kisah
keteladanan Uwais Al-Qarny. Seorang yang disebut-sebut oleh Rasulullah SAW
meski akhirnya tak pernah bertemu dengan beliau. Seorang yang dianggap remeh,
berpenyakit sopak, tubuhnya belang-belang, tak dihiraukan, namanya senyap di
dunia namun sakti melangit, semerbak harum diantara penduduk jagat langit.
Doanya begitu makbul.
Demi keinginan ibunya Uwais melakukan berbagai cara,
jangankan untuk mengeluh bahkan menyela argumentasipun tak ia lakukan tatkala
ibunya menyatakan keingingan untuk pergi berhaji. Padahal jarak Yaman-Mekah tidaklah
dekat dan Uwais tak memiliki apapun kecuali hanya seekor anak lembu. Julukan
gila oleh warga kampungnya tak ia hiraukan demi ibunya.
Bahkan ketika orangtua kita telah meninggal pun, Rasulullah
SAW berpesan untuk masih berbakti kepada keduanya yaitu dengan empat hal:
mendoakan dan memintakan ampunan untuk mereka, melaksanakan janji mereka,
memuliakan sahabat-sahabat mereka serta menyambung tali silaturahim kepada para
sahabat kedua orangtua kita.
Rasulullah SAW pernah bersabda “Sesungguhnya sebaik-baik
yang dimakan seorang muslim adalah dari hasil usahanya, sedangkan anak adalah
hasil usaha orang tuanya” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)
Dan ingatkah kita selarik firman Allah SWT: “Dan Kami
perintahkan manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Hanya
kepada-Ku lah tempat kembali.” (QS. Al-Luqman 14)
Islam sebagai agama yang kamil wa syamil telah memberikan
pedoman sekaligus solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi ummatnya,
sampai kepada urusan ke kamar belakang pun sudah diatur dalam syariat nan agung
ini apatah lagi persoalan kehidupan perekonomian ummatnya. Islam memberi
pedoman menyangkut kebutuhan hidup dan keberlangsungan kehidupan di muka bumi
yang adil dan merata, di antaranya menyikapi beban yang ditanggung generasi
sandwich dalam menanggung hajat hidup dua generasi dalam tanggungannya.
Dalam Islam menanggung beban keluarga disebut dengan
bersedekah kepada kerabat dan memiliki keutaamaan yang sangat besar di sisi
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yaitu diganjar dengan pahala bersedekah sekaligus
menyambung silaturrahim (hubungan kekerabatan), hubungan kekerabatan yang
dimaksud di sini adalah orang tua, istri, dan anak dalam tanggungannya,
sebagaimana hadist dari Salman bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ
وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ
صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
“Sesungguhnya sedekah kepada orang miskin pahalanya satu
sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat pahalanya dua; pahala sedekah dan
pahala menjalin hubungan kekerabatan.” (HR. An-Nasai No. 2583, Tirmidzi No.
658, Ibnu Majah No. 1844).
Al Qadhi Abu Syuja dalam Tuasikal (2018) menjelaskan bahwa
seorang anak wajib menafkahi orang tuanya jika terpenuhi syarat bahwa orang
tuanya dalam keadaan miskin dan tidak mampu lagi mencari nafkah. Atau orang
tuanya dalam keadaan miskin dan hilang akal sehatnya, sedangkan nafkah kepada
anak menjadi wajib jika memenuhi syarat jika anak tersebut masih kecil (belum
baligh) dan miskin; miskin dan belum kuat bekerja; serta miskin dan hilang akal
sehatnya.
Nafkah kepada orang tua merupakan salah satu di antara
bentuk birrul walidain kepada mereka terutama apabila mereka telah berusia
lanjut, maka semestinya tidaklah dianggap sebagai sebuah beban melainkan sebuah
kesempatan berharga nan langka yang tidak semua orang diberi kesempatan
meraihnya. Jawas (2020) mengungkapkan bahwa banyak hadits yang menunjukkan
kerugian yang dialami orang yang tidak berbakti kepada orang tua terutama saat
mereka masih berada di sisi kita dan telah mencapai usia lanjut, dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu Nabi ﷺ
bersabda,
رَغِمَ
أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ،
ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ مَنْ
أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الكِبَرِ، أَحَدُ
هُمَا أَوكِلَيْهِمَا، فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ
“Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang
yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya,
tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga”. (HR. Muslim No. 2551 dan HR. Ahmad
2: 254, 346).
Hakim (2019) menguraikan bahwa pemenuhan nafkah keluarga
merupakan kewajiban dan sebaliknya ia berdoa jika meninggalkan kewajibannya
tersebut, selain itu nafkah ini juga bernilai sedekah di sisi Allah Rabbul
Alamin bahkan merupakan sebaik-baik harta yang diinfakkan seorang kepala
keluarga, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ
bahwa sesuatu apa pun yang engkau berikan sebagai makanan kepada dirimu, maka
itu merupakan sedekah. Demikian pula yang Engkau berikan sebagai makanan kepada
anakmu, istrimu, bahkan kepada budakmu, itu semua merupakan sedekah (HR. Ahmad
no. 17179), atau dalam redaksi yang lain disebutkan bahwa dinar yang engkau
infaqkan di jalan Allah (perang), dinar yang engkau infaqkan untuk membebaskan
seorang budak, dinar yang Engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang
engkau infaqkan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah infaq yang
engkau berikan kepada keluargamu (HR. Muslim no. 995).
Maka dari itu, seorang muslim persoalan apapun yang tengah
menimpanya hendaknya dikembalikan kepada ajaran syariat ini yang luhur lagi
paripurna, tidak lagi membeo’ kepada apa yang datang dari barat melainkan apa
yang haq datang dari Allah dan Rasul-Nya. Di sini penulis bukan menguraikan
bahwa yang datang dari pemikiran barat semuanya buruk, namun jika kita ikut
latah terhadap pemikiran kapitalis dengan menganggap bahwa semua perbuatan
harus dihargai dari sisi materi, salah satu di antaranya beratnya memikul beban
sebagai seorang generasi sandwich, maka ia bertentangan dengan nilai
kemanusiaan, dan keadilan dalam Islam,
ada falah yang tidak hanya kita peroleh
di dunia semata melainkan lebih dari itu falah di akhirat sebagai tempat abadi,
tujuan hidup seorang muslim.
Seseorang boleh saja melakukan usaha di luar pekerjaan
intinya untuk menambah penghasilan dalam memenuhi kebutuhan hidup dan
orang-orang yang berada dalam tanggungannya seperti berwirausaha, akan tetapi
dengan menanggung orang tua dianggap sebagai beban nan berat bukan diniatkan
untuk mengharapkan wajah Allah Azza Wa Jalla semata akan melahirkan keletihan
demi keletihan yang tidak berkesudahan. Padahal menanggung kehidupan orang tua
terlebih lagi telah lemah di usia yang telah sepuh adalah salah satu kewajiban
dan asset terbesar yang akan kita bawa sebagai bekal di kehidupan keabadian
kelak.
Islam meyakini bahwa kehidupan hari ini adalah hari beramal
sebanyak-banyaknya sebagai bekal untuk beristirahat dari hiruk pikuk dunia di
negeri akhirat kelak. Bukankah Allah Azza Wa Jalla telah menjamin bahwa harta
yang kita keluarkan hakikatnya tidaklah berkurang secara jumlah semata akan
tetapi lebih dari itu harta itu bertambah dari segi jumlah dan berkah. Tidaklah
orang yang memberi itu akan jatuh dalam lubang kemiskinan, meskipun ia tidak
kaya raya dari segi materi namun keberkahan hidup terlihat dari karir yang
cemerlang, usaha yang berkembang, rumah tangga yang harmonis, anak-anak yang
shalih-shalihah, kesehatan, kesejahteraan, dan keamanan semua didapatkan karena
kebaikan yang ia berikan pada orang tuanya dan doa yang dipanjatkan orang tua
dan keluarganya kepada dirinya.
Semestinya ia bangga mampu menghidup dirinya sendiri beserta
anak istri dan kedua orangtuanya di usia terbilang muda dan produktif, di mana
jarang orang meraih pencapaian hidup seperti itu, bahkan ia disebut mampu
memberi manfaat kepada orang banyak, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ bahwa sebaik-baik manusia
adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya (HR. Ahmad, ath-Thabrani,
ad-daraquthni), karena memberi manfaat merupakan kepribadian yang harus
dimiliki seorang muslim dan sesungguhnya manfaat itu kembali kepada dirinya
sendiri. Maka seyogyanya istilah generasi sandwich tidak digunakan kaum
muslimin melainkan generasi Anfuahum Linnas (Generasi Bermanfat bagi Manusia
lainnya).
---
Sumber :
https://www.republika.id/posts/16282/dilema-%e2%80%98generasi-sandwich%e2%80%99
https://www.hidayatullah.com/kajian/jendela-keluarga/read/2020/09/08/191706/begini-islam-memandang-fenomena-generasi-sandwich.html
https://umma.id/article/share/id/1005/871451
https://www.tintasiyasi.com/2020/08/generasi-sandwich-apa-yang-salah.html
https://finoo.id/blog/sandwich-generation-adalah/
https://tirto.id/beratnya-hidup-menjadi-generasi-sandwich-eeon
https://www.jstor.org/stable/23712207?seq=1